Penulis: Muhammad Andhika Prasetya
POLEMIK RUU KUHP
RUU KUHP berada di tengah-tengah antara pro dan kontra yang muncul. Ada beberapa tanggapan positif dan negatif sejak diterbitkannya RUU KUHP. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah kemudian menjadi viral bahkan memunculkan berbagai meme, video kocak, dan tagar seperti #tolakruukuhp dan juga komentar miring, serta sarkasme dunia maya yang tak terhitung banyaknya. Pada prinsipnya, tanggapan menerima atau menolak adalah sah di tengah hak untuk menyatakan pendapat, dan kenyataan hukumnya. Penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 260 juta orang tentu tidak semua orang dapat menyetujui semua rasionalitas mereka.
Bicara tentang RUU KUHP tentu kita harus bisa memahami pula historinya mengapa RUU KUHP itu lahir. Salah satunya karena KUHP yang saat ini masih kita pakai umurnya telah menginjak 3 abad. KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791, kemudian ditiru oleh Belanda dalam bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun 1881. Setelah memasuki era kemerdekaan, KUHP yang diadopsi dari Belanda ini mulai berlaku di Indonesia sampai dengan detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan lahir dari Code Penal Perancis diabad 17 maka tentu isinya menyesuaikan dengan zamannya, kebutuhan lokal, termasuk nilai dan asas didalamnya.
RUU KUHP tersebut merupakan reformasi drai penal reform atau reformasi perundang-undangan pidana, yang pada hakikatnya menyangkut reorientasi dan reformasi hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sosial politik, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pemerintah melalui Kemenkumham tengah melakukan sosialisasi RUU KUHP ke berbagai daerah-daerah. Setidaknya ada sejumlah aturan yang sudah disampaikan ke masyarakat. Berbagai jenis aturan mulai dari penghinaan Presiden hingga tidak berlakunya hukuman mati bagi seorang koruptor mulai disosialisasikan ke daerah-daerah. Dalam draf RUU KUHP terbaru itu, sebagai contoh salah satu pasal tentang penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara. Hal itu tertuang dalam BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN. Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 ayat 1 berbunyi: ”Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”, Ancaman hukuman penjara itu akan naik 1 tahun apabila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lain. Pasal ini dipandang akan membuat penguasa anti kritik dan menjadi alat guna mengkriminalisasi.
Pasal selanjutny adalah dalam RUU KUHP itu, ancaman minimal pidana penjara ke koruptor turun, dari minimal 4 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. Namun tidak ditemukan ancaman hukuman mati ke koruptor. Hal ini membuat masyarakat semakin resah terhadap koruptor karena penurunan ancaman pidana tersebut. Dikhawatirkan setelah RUU KUHP ini disahkan semakin banyak koruptor yang merajalela, mengingat ancaman pidana yang sedikit dan tidak adanya ancaman mati bagi koruptor yang bisa membuat orang tidak takut untuk melakukan korupsi. Perilaku korupsi dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia secara sadar telah menjadi budaya. Hal ini berlaku khususnya pada tata kelola sistem birokrasi dan institusi lainnya. Dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari, kita dapat dengan mudah menemukan perilaku korupsi. Seolah-olah perilaku ini telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sehingga perilaku tegas ini tampak begitu sulit untuk dilawan. Di Indonesia, hukuman mati bagi koruptor harus diterapkan, sehingga mereka yang ingin melakukan korupsi bisa berpikir dua kali, jika hukuman mati diterapkan.
Lalu ada juga pasal yang mengatur tentang para pelaku 'kumpul kebo' maupun perzinaan diancam dengan hukuman pidana penjara antara 6 bulan hingga 1 tahun. Dibandingkan draf sebelumnya, ancaman hukuman untuk pelaku 'kumpul kebo' pada draf terbaru RUU KUHP ini jauh berkurang. Yang dimana sebelumnya, ancaman hukuman yang disiapkan adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Kementrian Hukum dan HAM RI berharap RUU KUHP agar dapat disahkan pada 2021 ini, karna kalau tidak disahkan maka pertanyaannya mau sampai kapan kita hidup dengan ketidak pastian hukum. Menurut Menteri Wamenkumham. Demikian saya sedikit berbagi pengetahuan perihal RUU KUHP tentunya pro kontra merupakan sesuatu hal yang wajar, terlebih pada sebuah produk hukum yang didalamnya berusaha mengakomodir berbagai kepentingan yang begitu di negeri kita ini.
Komentar
Posting Komentar